BULAN Mei bagi kelompok gerakan menjadi kenangan yang membekas dalam sejarah perjuangan dan perlawanan Orde Baru di Indonesia.
Melalui tragedi Mei 1998, kekuatan Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun di bawah kuasa Golongan Karya (Golkar) waktu itu tumbang atas prakarsa rakyat dan mahasiswa melalui gerakan reformasi.
Syamsul Ma’arif yang akrab disapa Sulenk Abdi Sagara salah satu mantan pentolan aktivis mahasiswa di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, memberikan komentar terhadap perjalanan atas tragedi Mei 1998.
“Mei 1998 telah berlalu selama 25 tahun silam melalui gerakan reformasi. Gerakan reformasi tidak gratis, melainkan harus dibayar tunai dengan darah dan nyawa.”
“Gerakan reformasi lahir dari darah, keringat, air mata, luka dan memar puluhan ribu rakyat dan mahasiswa,” kenang Syamsul Ma’arif kepada ruber.id, Minggu 30 April 2023.
Berkat gerakan reformasi, sejak itulah kebebasan dibuka. Mulai dibangun pondasi demokrasi untuk merangkai kembali harapan di atas kesetaraan tanpa diskriminasi.
Partai baru berdiri, kebebasan Pers terbuka lebar, banyak organisasi buruh, tani dan organisasi rakyat dideklarasikan.
Jabatan Presiden dibatasi dua periode, terjadi Pilihan Anggota Legislatif, Pilihan Presiden dan Pilihan Kepala Daerah dilakukan dengan pemilihan langsung dengan suara terbanyak.
“Sejarah mencatat gerakan reformasi tidak semulus yang diharapkan. Bahkan banyak pembenci gerakan reformasi kini menikmati,” ucapnya.
Mereka pembenci gerakan reformasi yang menembak, menculik, menyiksa dan membunuh rakyat dan mahasiswa jadi penikmat utama atas tragedi kelam masa lalu saat ini.
Gerakan reformasi memang belum sempurna. Namun, pelan-pelan buah reformasi mulai tumbuh dan dinikmati banyak orang, termasuk mereka yang menolak reformasi.
Perbedaan Generasi 1998 dan 1966
Menurutnya, generasi yang bergerak pada reformasi 1998 berbeda dengan generasi 1966. Atas perbedaan itu, menjadi anekdot antara generasi disayang dan dibuang.
Pelaku gerakan tahun 1966 hanya menggelar aksi dalam rentang waktu 60 hingga 90 hari. Namun, mereka menikmati jabatan dan kekuasaan selama 33 tahun.
Berbeda dengan pelaku gerakan reformasi 1998 yang tidak memiliki hak istimewa seperti pelaku 1966. Kekuatan pelaku 1998 embrionya dimulai sejak 1996 dan mulai reda di tahun 2000.
“Aktivis 1966 mendapat dukungan militer, sedangkan aktivis 1998 direpresi oleh militer. Aktivis 1966 meninggal dunia dua orang, sedangkan aktivis 1998 meninggal lebih dari 30 orang,” ujarnya.
Syamsul menyebutkan, aktivis 1966 yang meninggal dunia dua orang, keduanya diberi gelar pahlawan lalu diabadikan jadi nama jalan.
Sementara, aktivis 1998 dari 30 orang lebih yang meninggal dunia tidak satupun diberikan gelar pahlawan dan tidak ada yang diabadikan menjadi nama jalan.
“Aktivis 1966 beberapa bulan setelah Soeharto dilantik, diangkat sebagian menjadi anggota DPR tanpa melalui Pemilu. Tapi aktivis 1998 sampai hari ini tidak ada yang diangkat secara istimewa jadi anggota DPR tanpa Pemilu,” sebutnya.
Syamsul menambahkan, aktivis 1966 setiap periode pemerintahan Orde Baru selama 33 tahun selalu ada yang diangkat jadi Menteri sebagai representasi ide yang diperjuangkan generasinya.
“Perlu kita sadari bersama, bahwa perbandingan dua generasi dengan segala kekurangan, kelemahan dan kesalahan yang mungkin terjadi dalam proses sejarah itu sendiri.”
“Semua pilihan punya harga masing-masing, harga yang harus dibayar entah sekarang bahkan entah kapan,” kata Syamsul.
Oleh: Mantan pentolan aktivis mahasiswa di Kabupaten Pangandaran Syamsul Ma’arif Sulenk Abdi Sagara